DEPOK- Masyarakat yang tergabung dalam #DepokLawanCorona menilai aksi penanganan pemerintah menanggulangi penyebaran virus corona di Depok masih terkesan lamban. Terutama, terkait realisasi kebijakan di level bawah, sehingga memungkinkan ledakan orang yang terjangkit virus dalam waktu ke depan.
Selama sepekan ini, #DepokLawanCorona melakukan pemantauan pelaksanaan kebijakan penanganan COVID-19 yang mencakup area Kota Depok, Jawa Barat. Beberapa fakta lapangan mematahkan segala wacana kebijakan yang digulirkan pemerintah baik level pusat maupun daerah.
Salah satu fakta temuan #DepokLawanCorona yakni banyaknya pasien berstatus ODP dan PDP yang tidak tertangani dengan optimal. Parahnya lagi, penanganan ODP dan PDP tidak berjalan sesuai protokol pandemi.
Bahkan, di salah satu Kelurahan di Kota Depok, ditemukan pasien berstatus PDP yang meninggal dunia, namun diizinkan pihak rumah sakit untuk dimakamkan secara normal tanpa protokol medis. Status pasien PDP yang meninggal dunia tersebut baru diketahui belakangan oleh pihak RT dan RW.
“Kronologisnya, pihak RT dan RW saat siang hari baru mendapatkan informasi bahwa warga yang meninggal dunia adalah PDP COVID-19 setelah ada informasi dari Kelurahan setempat. Padahal, keluarga dan warga menguburkan jenazah secara normal, bukan mengacu protocol medis,” jelas Jurubicara #DepokLawanCorona Sahat Farida Berlian dalam rilis yang diterima depok24jam.
Secara rinci, kasus tersebut diketahui setelah adanya surat yang dikirimkan pihak Kelurahan berkop salah satu rumah sakit swasta di daerah Cibinong, Bogor. Dalam surat tersebut dijelaskan bahwa pasien yang berusia 60 tahunan meninggal dunia dalam status PDP, surat keterangan lainnya menyebutkan pihak keluarga menolak pemakaman secara medis, maupun tes swab.
“Jelas pihak RT/RW tidak bisa disalahkan. Namun pihak RS tidak memaksakan protokol pula, dan yang jelas informasi terkait ODP dan PDP itu masih membingungkan masyarakat karena tidak dibuka, selain itu otomatis warga sekitar yang ikut dalam pelayatan maupun pernah kontak dengan pasien dan keluarga, berstatus ODP, ini siapa yang bertanggungjawab?” tanya Sahat.
Dia menyayangkan aksi lamban pemerintah pusat maupun daerah terkait sosialisasi maupun perangkat mitigasi bencana tingkat lokal yang tidak disiapkan.
“Kalau alasannya nanti menciptakan stigma karena membuka status ODP dan PDP, itu mengandung kesalahan bahwa sosialisasi dan edukasi dari pemerintah tidak berjalan baik. Dan jika pusat dan daerah tetap kukuh tidak membuka data, persoalan seperti fakta yang ditemukan di lapangan sangat berpotensi meluaskan pandemi, karena kasus serupa terjadi di banyak titik,” tukas Sahat.
Dalam skala penanganan Kota Depok, dia menilai pemerintah tidak menyiapkan dengan serius kekuatan mitigasi dan pencegahan di tingkat lokal. Hingga kini, #DepokLawanCorona menjaring banyak informasi wacana pembentukan “Kampung Siaga” di tingkat RW oleh Pemkot Depok sama sekali belum berjalan.
“Di Kelurahan Cipayung Jaya, hanya satu RW yang disiapkan dengan janji modal awal Rp3 juta. Sedangkan mereka harus mengerjakan pencegahan, penanganan, dan menyiapkan bantalan sosial warga, apalagi mereka harus menjaga fasos dan fasum yang wajib secara rutin disemprot disinfektan, apakah realistis,” kata Sahat.
Penggunaan anggaran
Sebaliknya, saat ini Pemkot Depok telah menggenggam anggaran penanganan bencana senilai Rp70 miliar yang belum secara detil dialokasikan. Sejauh ini, #DepokLawanCorona masih melihat Pemkot Depok beserta Gugus Tugas belum memiliki skema yang jelas dalam penanganan COVID-19.
“Yang kami ketahui, Walikota hanya menggelar lomba kreativitas soal COVID di tingkat pelajar, apakah ini punya korelasi dalam penanganan wabah, itu yang membuat kami bingung,” kata Sahat.
Di sisi lain, penguatan tenaga medis dalam penanganan COVID-19 pun masih jalan di tempat. Kota Depok hanya memiliki satu faskes rujukan yakni RSUD Kota Depok, selebihnya ditangani rumah sakit swasta.
“Dalam hal ini, penanganan di rumah sakit swasta juga harus dipertimbangkan, ketersediaan APD mereka, apakah juga dibantu Pemkot, fasilitas rapid tes ataupun swab. Jangan sampai mereka dibebani tetapi tanpa bantuan, ujungnya warga yang dibebani biaya kesehatan di tengah wabah ini,” ujar Sahat.
Dalam hal sosialisasi dan edukasi juga tak banyak yang dilakukan Pemkot. Mayoritas warga, terutama di kampung-kampung masih tak mengindahkan physical distance karena kurangnya pemahaman bahaya COVID-19.
“Untuk yang kelas menengah atas, mereka tinggal di komplek perumahan dengan kesadaran yang tinggi. Tetapi kami menemukan kebijakan jaga jarak fisik tidak berlaku di kampung-kampung seantero Kota Depok, Pemkot sosialisasi hanya menggunakan mobil bak keliling di jalan besar, itupun hanya sekali dua kali,” terang Sahat.
Karena itu, #DepokLawanCorona menilai aksi lamban pemerintah baik pusat maupun daerah seakan menyorongkan wabah COVID-19 ini kepada kekuatan individual masing-masing warga. “Yang kuat modal dan mengakses informasi yang benar, mereka selamat. Namun yang menengah bawah di kampung-kampung seolah dibiarkan saja oleh pemerintah,” tutup Sahat.