DEPOK24JAM,- Tatang Priadi (43), tampak sibuk membawa satu per satu bibit mangrove untuk ditanam di area tak jauh dari kawasan pesisir RW 09 Kesunean Selatan, Kelurahan Kasepuhan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon. Jumat, 26 Januari 2024, RW 09 Kesunean tampak sibuk dari biasanya karena ada kunjungan dari tim Jelajah Energi Jawa Barat.
“Pakai bambu aja biar gak licin,” teriak seorang warga Kesunean Selatan. Seorang warga lain bergegas menghamparkan bambu-bambu yang sudah dipotong di area hutan mangrove. Maklum, malam itu Cirebon dilanda hujan deras. Jadi paginya akses menuju hutan mangrove becek dan basah. Mereka menyiapkan sebisa mungkin agar para pengunjung bisa menembus hutan mangrove tanpa terkendala.
Selain tim Jelajah Energi Jawa Barat, hadir juga para pejabat kelurahan, kecamatan dan Sekda Kota Cirebon. Mau tak mau, para pejabat level Sekda hingga kelurahan di Kota Cirebon menggulung celananya agar tak kena becek. Di Ujung sana, Tatang dan warga lain tak kelihatan santai sedikitpun. Mereka sibuk. Sibuk dengan mangrove yang akan ditanam.
Tatang adalah salah satu dari sekian banyak warga yang aktif menjaga kelestarian hutan mangrove di kawasan RW 09, Kesunean Selatan. Ia sempat jadi nelayan tetapi berhenti karena banyak kerja sampingan lain. “Sekarang lebih banyak kuli. Tapi sesekali ikut turun memantau mangrove,” ujarnya.
Hutan mangrove di kawasan RW 09 Kesunean Selatan, merupakan salah satu titik fokus pemerintah untuk mengembangkan ekowisata di Cirebon. Selain menggali potensi wisata, penghijauan dan penanaman mangrove sebagai upaya mengatasi masalah emisi gas karbon dan meningkatkan kondisi lingkungan di wilayah tersebut.
Selain Tatang, Warga RW 09 Kesunean Selatan lain terus menunjukkan dedikasinya dalam mempertahankan lingkungan dengan menjaga hutan mangrove di wilayah mereka. Hutan mangrove di Kesunean Selatan, satu-satunya yang masih bertahan di sepanjang pesisir Kota Cirebon, menjadi fokus utama perjuangan mereka.
Sejak tahun 2000-an, Kelompok Kerja (Pokja) mangrove RW 09 aktif melakukan pemeliharaan dan pengawasan langsung terhadap hutan tersebut. Pokja ini telah berupaya keras untuk melindungi area pesisir yang vital ini dari ancaman tanah timbul, sebuah fenomena dimana warga menimbun sampah di tepi pantai untuk membentuk daratan baru.
Upaya warga RW 09 dalam menjaga hutan mangrove tidak hanya memperkuat ketahanan lingkungan, tetapi juga memberikan manfaat bagi masyarakat setempat. Hutan mangrove ini tidak hanya menjadi tempat tinggal bagi berbagai biota laut, tetapi juga menjaga ekosistem pesisir yang rapuh.
“Selain menjaga kelestarian hutan mangrove, warga juga berpotensi memperoleh penghasilan,” ujar Ketua RW 09 Kesunean Selatan, Pepep Nurhadi.
Saat ini, kata Pepep, warga RW 09 banyak yang menanam bibit mangrove sebagai mata pencaharian yang dikelola melalui koperasi. Bibit mangrove tersebut nantinya dijual kepada pihak-pihak yang membutuhkan. Bibit mangrove dijual mulai dari Rp1.000 per pohon. Beda lagi harga ketika dijual ke korporasi yang memiliki program penanaman pohon mangrove.
Penjabat Sekretaris Daerah (Pj Sekda) Kota Cirebon, Mohammad Arief Kurniawan, menyambut baik kehadiran tim jelajah yang diinisiasi Institute for Essential Services Reform (IESR), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Dia mengapresiasi bahwa masih banyak pihak yang berkontribusi dalam upaya penanaman mangrove sebagai kompensasi terhadap emisi gas karbon di Kota Cirebon. Menurutnya, hutan mangrove di Cirebon memiliki peran penting meskipun jumlahnya terbatas. Oleh karena itu, penanaman mangrove merupakan langkah yang sangat diapresiasi.
Arief sapaan akrabnya menekankan pentingnya perawatan dan pemeliharaan mangrove setelah ditanam. Dia memberi contoh bahwa di beberapa lokasi, seperti di Taspen, upaya penanaman mangrove sudah dilakukan dengan pembiayaan untuk pemeliharaannya. Namun, karakteristik tanah dan lingkungan yang berbeda mempengaruhi pertumbuhan mangrove. Dia berharap penelitian lebih lanjut dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Namun, persoalan yang terlihat jelas di kawasan hutan mangrove tersebut yakni masih banyaknya sampah yang belum terangkut. Dia menjelaskan bahwa sebagian besar sampah yang terdapat di Kota Cirebon berasal dari wilayah hilir, dengan empat sistem sungai yang mengalir dari Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Cirebon. “Namun, sejauh ini upaya penanaman mangrove di wilayah tersebut dinilai berhasil, meskipun terdapat tantangan tingginya tingkat salinitas di sekitar Kota Cirebon,” ujarnya.
Dalam upaya mengurangi sampah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pihaknya menyatakan dukungannya terhadap penanaman mangrove dan edukasi kepada masyarakat. Dia juga menyoroti pentingnya manajemen lingkungan dan kerjasama antarwarga dalam pengelolaan lingkungan, seperti bank sampah yang aktif di beberapa wilayah.
Dengan demikian, pihaknya berencana untuk mengatasi kawasan kumuh di sekitar pantai, dengan membangun jalan sebagai pembatas. Hal ini diharapkan dapat memperbaiki kondisi lingkungan dan mengurangi masalah rumah yang dibangun di lahan tanpa izin resmi.
Ekowisata Mangrove, Harapan dan Tantangan
Pemkot Cirebon, kata Arief berencana membantu dan mendukung pelestarian hutan mangrove di RW 09 Kesunean Selatan. Salah satunya dengan memberikan bantuan perbaikan infrastruktur akses menuju hutan mangrove yang rencananya akan dibangun ekowisata tersebut. Namun, diharapkan persoalan sampah dan komitmen warga dalam mengelola mangrove juga harus didukung.
Arief, menegaskan komitmen Pemkot CIrebon dalam meningkatkan pengelolaan hutan mangrove serta penanganan kawasan kumuh di wilayah tersebut. Saat ini, kata dia,
Pemkot Cirebon telah melakukan koordinasi dengan Dinas Lingkungan Hidup (LH) untuk melaksanakan program penanaman mangrove.
Selain itu, upaya edukasi kepada masyarakat juga dilakukan, dengan fokus utama pada pengurangan sampah di lingkungan sekitar. Arief menekankan peran aktif dari Pak RW dalam mengelola bank sampah sebagai salah satu upaya nyata dalam menjaga kebersihan lingkungan.
Menurutnya, meskipun telah memberikan bantuan kepada RW, RT, dan Kecamatan setiap tahunnya, belum ada intensif khusus yang diberikan untuk pengelolaan mangrove. Namun, pada tahun ini, terdapat rencana untuk memperbaiki akses jalan menuju lokasi mangrove serta perbaikan drainase guna mengoptimalkan partisipasi masyarakat.
Secara total, luas hutan mangrove di Cirebon mencapai sekitar 30 hektar, dengan 7 hektar di antaranya terletak di lokasi RW 09. “Namun, tantangan terbesar terkait dengan rumah-rumah yang berada di pinggiran dan terdampak oleh gundukan sampah. Wilayah tersebut masuk ke dalam kawasan kumuh, dan Pemerintah Kota tengah merencanakan pembangunan jalan sebagai pembatas,” ujarnya.
Arief menjelaskan bahwa rumah-rumah yang sudah dibangun di kawasan kumuh merupakan tanah negara. Meskipun banyak rumah yang telah berganti nama dan diperjualbelikan tanpa legal formal yang jelas, Pemerintah berencana untuk melakukan intervensi dalam penataan kawasan kumuh.
“Pembangunan jalan sebagai pembatas dapat membawa konsekuensi, termasuk kemungkinan membongkar rumah yang berdiri di atas tanah negara. Namun, dalam hal ini, Pemerintah siap memberikan kompensasi kepada pemilik rumah yang terdampak,” ujarnya.
Pembangunan Ditargetkan pada 2025
Dalam upaya meningkatkan ekowisata dan menjaga lingkungan, Camat Lemahwungkuk Kota Cirebon, Adam Wallesa, mengungkapkan rencana pembangunan ekowisata mangrove yang telah dimasukkan dalam program tahun 2024.
Adam menjelaskan bahwa saat ini pemerintah kecamatan telah memberikan dukungan terhadap pembangunan infrastruktur untuk memfasilitasi ekowisata tersebut, khususnya dengan pembangunan akses jalan yang menghubungkan ke lokasi mangrove.
“Saat ini, luasan mangrove di wilayah RW 09 sekitar 7 setengah hektar, namun luasannya akan meningkat menjadi 15 sampai 16 hektar di masa yang akan datang. Target yang ditetapkan untuk pembangunan ekowisata mangrove adalah tahun 2025,” ujarnya.
Adam menjelaskan, mangrove di kawasan RW 09 Kesunean memiliki historis kuat. Telah lebih dari dua dekade berlalu, kini pohon mangrove di hutan tersebut telah mencapai ketinggian yang mengesankan dan menjadi habitat bagi berbagai jenis satwa, seperti burung, ikan, kerang, dan lainnya.
Beruntung, kata dia, Kesunean memiliki RW yang aktif dalam merawat kekompakan warga sehingga bisa memobilisasi warga ke arah yang lebih positif untuk sama-sama menjaga hutan mangrove.
Meskipun demikian, kata dia, keberadaan hutan mangrove masih menghadapi ancaman yang serius. Meskipun telah berhasil mengatasi masalah tanah timbul di RW 09 dan semakin banyak warga yang menyadari pentingnya pelestarian hutan mangrove, masih ada sejumlah warga yang melakukan penebangan pohon mangrove untuk dijadikan kayu bakar.
Aktivitas penangkapan burung juga sering terjadi, sementara bibit-bibit mangrove yang baru tumbuh kerap terinjak-injak oleh nelayan lokal yang harus berlayar hingga ke ujung hutan mangrove untuk mencari ikan dan kerang. Oleh karena itu, rencana membangun ekowisata mangrove diharapkan menjadi solusi.
“Pendekatan yang dilakukan dalam pembangunan ini melibatkan pemahaman dan kerjasama dengan warga setempat,” ujarnya.
Adam menyadari pentingnya memberikan pemahaman kepada warga bahwa tanah tersebut merupakan milik negara, bukan milik pribadi. Selain itu, upaya diversifikasi mata pencaharian juga dilakukan, tidak hanya bergantung pada nelayan. Penjualan bibit mangrove menjadi salah satu sumber penghasilan bagi masyarakat setempat.
Dalam upaya pengembangan ekowisata, Adam berharap adanya dukungan dari berbagai pihak untuk membangun infrastruktur yang lebih baik, termasuk perbaikan akses jalan dan pembangunan jembatan. Dengan akses yang lebih baik, ekowisata mangrove di Kota Cirebon diharapkan dapat menjadi destinasi yang menarik bagi wisatawan, serta memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat setempat.
Rencana pembangunan tersebut juga melibatkan pembahasan terkait akses jalan yang masih sempit, dengan pertimbangan membongkar beberapa bangunan agar dapat dilewati oleh mobil. Namun, hal ini masih dalam tahap pembahasan.
Ketua RW 09 Kesunean Selatan, Pepep Nurhadi optimistis proyek ekowisata mangrove akan terealisasi dengan baik. Ia berharap warganya bisa dilibatkan secara penuh sehingga mampu meningkatkan perekonomian penduduk setempat.
“Kalau nanti jadi dibangun ekowisata, kami akan hadirkan bagaimana potensi warga kami mulai dari penanaman bibit mangrove, cara mengelola bank sampah hingga membatik khas Kesunean akan kami hadirkan sehingga wisatawan tahu apa saja potensi-potensi yang kami miliki,” ujarnya.
Rahmat Jaya Eka Syahputra, Staff Program Transformasi Energi, IESR mengatakan menjaga keberlanjutan lingkungan dan mitigasi dampak perubahan iklim menjadi fokus utama bagi Indonesia, khususnya dalam upaya pelestarian hutan mangrove.
Indonesia, kata dia, memiliki luas hutan mangrove mencapai 3.5 juta hektar, setara dengan 23% dari total ekosistem mangrove dunia.
“Hutan mangrove memiliki peran penting dalam menjaga ekosistem pesisir pantai, mencegah abrasi, dan sebagai lahan penyerap karbon,” ungkapnya.
Reboisasi hutan mangrove menjadi langkah yang sangat penting dalam mengurangi dampak emisi karbon yang dihasilkan dari berbagai aktivitas, baik individu maupun industri.
Lebih lanjut, Rahmat menyoroti urgensi penanaman mangrove di sekitar PLTU Cirebon yang berjarak kurang dari 10 kilometer. PLTU Cirebon, sebagai pembangkit listrik utama yang menggunakan batu bara sebagai bahan bakar, menghasilkan emisi karbon yang signifikan dari pembakaran batubara.
Oleh karena itu, penanaman mangrove di sekitar wilayah tersebut diharapkan dapat membantu mengurangi dampak emisi karbon serta menjaga keberlangsungan ekosistem pesisir.
Dalam rangka menanggapi tantangan ini, Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah serius dengan menggalakkan program reboisasi hutan mangrove. Program ini tidak hanya bertujuan untuk menjaga keberlanjutan lingkungan, tetapi juga untuk melindungi kehidupan manusia dan ekosistem yang bergantung pada keberadaan mangrove.
“Hutan mangrove penting untuk menjaga ekosistem pesisir pantai, mencegah abrasi, dan sebagai lahan penyerap karbon,” katanya.