DEPOK24JAM, – Wali Kota Depok Mohammad Idris angkat bicara terkait hasil riset Setara Institute yang menempatkan Depok sebagai kota paling intoleran di Indonesia.
Idris mengklaim kota yang dipimpinnya tetap menjadi kota yang toleran. Dia justru mempertanyakan indikator penilaian Setara Institute dan meminta Lembaga tersebut memberi pemaparan yang jelas.
“Jangan asal bunyi atau asbun. Kalau kami intoleran akan kami perbaiki. Depok tetap jadi kota yang toleran kok,” tutur Mohammad Idris dikutip dari beritasatu.com, Senin, 4 April 2022.
Sebelumnya, Setara Institute menempatkan Kota Depok pada posisi terbawah dalam riset studi sebagai kota toleran. Artinya, Depok menjadi kota paling tidak toleran di antara kota-kota lainnya.
Depok menempati posisi paling buncit yakni ke-94 dalam indeks kota toleran (IKT) yang dirilis Setara Institute.
Dikurip dari Merdeka.com, sebagai tolak ukur berbasis paradigma hak konstitusional warga sesuai hak asasi manusia (HAM), riset yang dilakukan Setara Institut mempertimbangkan empat variabel dengan delapan indikator.
Variabel pertama yaitu regulasi pemerintah dengan indikator RPJMD dan kebijakan diskriminatif. Variable kedua yakni tindakan nyata dengan indikator pernyataan dan tindakan nyata pemerintah kota.
Selanjutnya, variabel ketiga Regulasi Sosial mencakup indikator peristiwa intoleransi dan dinamika masyarakat sipil. Variable terakhir yakni Demografi Sosial-Agama meliputi indikator heterogenitas dan inklusi sosial.
Ditempatkannya Depok sebagai kota paling tidak toleran, ungkap Direktur Eksekutif Setara Institut, Ismail Hasani lantaran adanya produk hukum yang diskriminatif.
Hal itu menurutnya tergambar dalam sosok Wali Kota Depok yang dinilai tidak terbuka dengan keberagaman.
“Jadi lawan dari pemimpin-pemimpin yang toleran adalah pemimpin-pemimpin yang intoleransi. Dan itu terjadi di Depok, kita bisa melihat bagaimana tidak terbukanya kepala daerah Depok terhadap kemajemukan,” kata Ismail Hasani.
Dia pun mencontohkan bagaimana Wali Kota Depok tiba-tiba memerintahkan menyegel sebuah masjid. Menurutnya ini merupakan sebuah problem.
” Jadi bukan hanya di level aturan yang itu bobotnya 20 persen, tapi juga tindakan politik walikota yang tidak toleran,” ungkapnya.