DEPOK24JAM- Sebuah insiden yang mengejutkan terjadi di Kapel GBI Bukit Cinere Raya, Depok, pada Sabtu (16/9/2023), ketika sejumlah warga setempat mendatangi kapel tersebut dengan tindakan yang menolak keberadaannya.
Motif di balik tindakan tersebut masih menjadi misteri, namun hasil pertemuan antara pihak Kapel dan Pemerintah Kota Depok menunjukkan bahwa insiden ini akibat miskomunikasi.
Kapolres Metro Depok Kombes Ahmad Fuady, memberikan jaminan kepada pihak kapel untuk melanjutkan ibadah mereka dengan syarat tertentu.
Kejadian ini terjadi sekitar pukul 08.00 WIB pada hari Sabtu. Sejumlah warga, sekitar 50-60 orang, berkumpul di depan kapel dan mulai berteriak serta mendorong pagar ruko yang berfungsi sebagai gerbang kapel.
Arief Syamsul, salah satu pengurus Kapel GBI Bukit Cinere Raya, menyatakan bahwa mereka tidak memahami motif di balik tindakan tersebut, dan jemaat hanya ingin beribadah dengan damai.
Sebelumnya, pihak Kapel GBI Cinere Raya telah memenuhi persyaratan administratif yang diperlukan, termasuk mendapatkan persetujuan dari pejabat setempat untuk mengadakan kegiatan keagamaan.
Namun, penolakan terhadap kapel ini diduga karena kurangnya tanda tangan izin untuk mengadakan kegiatan ibadah dari Wali Kota Depok.
Hal ini menyebabkan munculnya ketidaksepahaman antara pihak kapel dan warga setempat.
Kapolres Metro Depok Kombes Ahmad Fuady menjelaskan bahwa penggerudukan ini semata-mata disebabkan oleh miskomunikasi dan salah paham.
“Ini hanya masalah miskomunikasi dan salah paham. Tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan,” tegas Fuady.
Pihak Polres Metro Depok bersama Pemkot Depok mengunjungi kapel pada hari Minggu, satu hari setelah insiden terjadi, dan hasil pertemuan menyatakan bahwa masalah ini hampir selesai.
Rekomendasi jaminan dari Pemerintah Kota Depok adalah bahwa jemaat diizinkan untuk melanjutkan ibadah mereka, namun dengan beberapa syarat.
Untuk sementara waktu, ibadah akan dilakukan secara daring atau online. Ibadah tatap muka dapat dilanjutkan ketika pihak kapel telah melengkapi semua berkas administratif yang diperlukan.
Ketegangan yang muncul akibat insiden ini dapat dihindari dengan komunikasi yang lebih baik antara pihak kapel dan warga setempat.
Kasus ini juga menjadi contoh bagaimana perbedaan pemahaman terhadap persyaratan administratif dapat mengakibatkan ketidaksepahaman yang merugikan semua pihak terlibat.
Dalam situasi seperti ini, dialog dan pemahaman yang baik sangat penting untuk menjaga keharmonisan di antara warga dan tempat ibadah.
Masyarakat di Depok kini dapat berharap bahwa insiden ini adalah pelajaran berharga tentang pentingnya komunikasi yang baik dalam menjaga kerukunan antarumat beragama.
Semoga, dengan pemahaman yang lebih baik dan kerjasama yang lebih erat, kehidupan beragama di Depok dapat berlangsung dengan damai dan sejahtera.