Membaca sudah menjadi kegiatan sehari-hari. Membaca novel, buku pelajaran, konten internet, dan lain-lain.
Namun kegiatan membaca sudah mulai banyak ditinggalkan oleh generasi millenials sekarang ini. Ketika ditanya, alasannya beragam. Tidak ada waktu, membaca itu membosankan, dan takut dianggap nerdy.
Padahal membaca itu memang sebenarnya merupakan kebutuhan. Membaca dapat memperluas wawasan, memperkaya pengetahuan, menjadikan pemikiran lebih terbuka, dan lain-lain.
Terdengar klise bukan? Padahal memang benar adanya. Namun kini para penulis buku sepertinya telah berupaya menarik hati kembali agar buku tetap menjadi minat.
Topik-topik seperti konspirasi, gerakan komunis di Indonesia, rahasia gelap pemerintah, dan lain-lain pun mulai banyak diangkat. Sebenarnya tak jadi masalah mengangkat topik kontroversial seperti itu.
Namun satu hal yang pasti ialah konten yang diangkat ke dalam buku harus dapat dipertanggungjawabkan.
Jika tak dapat dipertanggungjawabkan maka konsekuensinya ialah topik-topik yang mirip dan serupa akan dilarang beredar luas di pasaran, padahal bisa jadi memuat sitasi atau referensi yang memang faktual dan benar adanya.
Konten buku tidak boleh menyesatkan, dan tidak boleh mengutamakan profit karena judul buku yang memincut minat pembaca saja. Konten buku harus berpedoman pada ilmu pengetahuan dan standar penerbitan buku.
Tapi tentu saja, topik-topik kontroversial memang cenderung menarik perhatian para pembaca dan calon pembaca buku.
Sebab, topik-topik tersebut biasanya tidak sering diajarkan di sekolah-sekolah dan jarang dibicarakan dalam pembicaraan sehari-hari. Mereka biasanya membahas sesuatu hal yang tabu dan sensitif untuk dibahas.
Entah itu memang tragedi atau memang trauma yang ingin dilupakan.
Contoh judul buku yang memuat topik-topik kontroversial ialah 1965: Dalih Pembunuhan Massal, Karl Marx: Membongkar Akar Krisis Global, Islam Kiri, dan lain-lain.
Penulis, Aga Adi Winawan, Mahasiswa UI Jurusan Komunikasi – Hubungan Masyarakat 2016