DEPOK- Sistem jalan berbayar alias Electronic Road Pricing (ERP) kini sedang hangat dibicarakan. Tak terkecuali oleh warga Depok. Pasalnya, Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) mewacanakan akan menerapkan jalan berbayar di Margonda dan juga di kawasan Daan Mogot, Tangerang dan Kalimalang, Bekasi.
Lalu apakah yang disebut dengan sistem ERP itu? Apakah sistem tersebut jika diterapkan di Jalan Margonda akan mampu mengurangi kemacetan di Kota Depok?
Sistem ERP
ERP merupakan pungutan untuk jalan tertentu dengan cara membayar secara elektronik. Maksud dari pemungutan itu sendiri jika menggunakan kendaraan yang melewati area ERP maka kendaraan tersebut harus membayar ke operator.
Sistem ERP sudah diberlakukan di beberapa negara yakni Singapura, Jepang, Inggris, dan Hongkong. Selain untuk mengurangi kemacetan, ternyata negara tersebut telah berhasil menekan jumlah kendaraan pribadi akibat diberlakukannya ERP.
Dilansir dari Kompas.com, Sabtu, 16 November 2019), Kepala BPTJ Bambang Prihartono mengatakan bahwa ERP yang nantinya akan diterapkan di Jakarta, Depok, Bekasi, dan Tangerang. Untuk tarifnya sendiri belum diketahui berapa besarannya yang akan diterapkan di Jakarta. Namun, di sejumlah negara, sekali melintas tarifnya mulai dari Rp5.000- Rp20.000 per mobil.
ERP Margonda bukan solusi terbaik
Menurut beberapa warga ternyata sistem ERP yang akan diberlakukan ini bukan solusi terbaik dalam menyelesaikan permasalahan kemacetan. Seharusnya, salah satu solusi untuk mengurangi kemacetan dengan membangunnya jembatan layang seperti yang ada di Singapura.
Kota Depok butuh penambahan ruas jalan yang dimana sebagai penghubung antara barat ke timur, sehingga warga Depok yang ingin ke arah timur atau sebaliknya tidak perlu mampir ke Margonda. Dengan diberlakukan sistem ERP di Kota Depok menjadikan proses di jalan Margonda oleh BPTJ yang nantinya akan ada publik transportasi yang disubsidikan oleh BPTJ.
Pengamat perkotaan Yayat Supriyatna mengatakan bahwa di Depok banyak jalan alternatif yang bisa digunakan oleh masyarakat menuju Jakarta. Ada pengendara yang lewat Jalan Margonda ada juga lewat tol. Kapasitas di Jalan Margonda, menurut dia, sudah sangat padat oleh pengendara. “Untuk selanjutnya kita tunggu saja dari Pemkot Depok yang bekerjasama dengan BPTJ,” ujarnya.
ERP tidak cocok diterapkan di Margonda
Kepala Dinas Perhubungan Kota Depok Dadang Wihana mengatakan penerapan ERP di Jalan Margonda masih dikaji dari BPTJ. Hanya saja, Pemkot Depok belum diajak bicara serius soal ERP tersebut. yang seharusnya belum ke arah implementasi di tahun 2020.
Menurutnya, sebuah kebijakan seharusnya dianalisis secara detail dan komprehensif. Terutama mengenai jalan pendukung atau akses kendaraan, dan layanan transportasi publik. “Itu semua harus tersedia, sehingga pengguna jalan nyaman,” bebernya.
Dadang mengatakan kebijakan ERP di Jalan Margonda dinilai belum pas, lantaran belum tersedia akses jalan yang mendukung. “Transportasi publik kita juga belum tersedia dengan nyaman, belum lagi masih banyak gang-gang kecil yang menuju pemukiman warga,” katanya.
Untuk itu, saat ini Pemkot Depok enggan berspekulasi terlalu dini terkait kebijakan ERP. Dadang menegaskan, pihaknya masih fokus dengan penataan transportasi publik termasuk yang berbasis rel.
“Beberapa penataan tengah kami pusatkan yaitu JR Connection, Layanan BRT point to point, Layanan BRT Terminal Depok – Terminal Jatijajar, aktivasi trayek bus yang tidak aktif Depok-Jakarta dan peremajaan angkot ber-AC,” tegasnya.
Selanjutnya, Dadang mengatakan kepada masyarakat agar tetap tenang dan jangan menjadikan informasi ERP sebuah polemik. Pembahasan aturan tersebut, akan panjang dan tidak mungkin diputuskan dari satu pihak.
Menguntungkan atau merugikan?
Sementara itu, Sekretaris Daerah Kota Depok Hardiono mengatakan ada banyak variabel atau fokus dari aturan ERP. Pasalnya apabila memang ditetapkan kedepannya, aturan mengenai jalan berbayar tersebut akan menjadi kebijakan publik.
“Harus ada kajian yang matang, sebelum menjadi kebijakan,” katanya.
Dia memaparkan BPTJ harus mengkaji aturan tersebut secara akademis kemudian sampaikan kepada Pemerintah Kota Depok.
“Karena Pemkot yang terdampak, nah dampaknya itu merugikan atau menguntungkan. Kan, kita belum tau itu ditambah lagi nanti komen masyarakat seperti apa,” katanya.
Saat ditanya lebih jauh mengenai aturan berbayar tersebut, Hardiono menjelaskan belum mengetahui secara pasti.
“Saya belum lihat kajiannya seperti apa. Minimal saya harus sudah baca baru saya komentar,” jelasnya.
Sementara itu, menyangkut kebijakan ERP tersebut Kepala BPTJ Bambang Prihartono meminta masyarakat tidak perlu resah karena pada saatnya nanti sebelum diimplementasikan pasti akan didahului dengan sosialisasi dan uji coba.
Kebijakan tersebut, justru berpihak pada kepentingan masyarakat banyak dengan prinsip berkeadilan. Prinsipnya bagi pengguna kendaran bukan angkutan umum dikenakan biaya apabila melewati koridor-koridor yang diberlakukan ERP.
Besaran biaya yang dikenakan bergantung dari tingkat kemacetan yang terjadi dengan ketentuan semakin macet maka akan semakin besar biaya yang dikenakan. (Husnul Kholidah dan Dwi S)