DEPOK24JAM.com,- Bicara transisi energi adalah bicara narasi besar. Bahkan sebagian orang menilainya sekadar mimpi di awang-awang.
Tapi bagi kalangan civitas akademika Fakultas Teknik Universitas Indonesia, mimpi itu bisa direalisasikan dengan bukti yang nyata. Setidaknya, mereka memulai dari skala kecil dengan memanfaatkan fasilitas yang ada.
Pada 2020, Tropical Renewable Energy Center Fakultas Teknik Universitas Indonesia membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terapung bifasial pertama di Indonesia.
Instalasi PLTS tersebut dikerjakan bersama mahasiswa dan pihak swasta yakni PT Sky Energy Indonesia dan PT Quint Solar Indonesia. PLTS terapung bifacial itu dibangun di sebuah danau yang berlokasi tidak jauh dari Fakultas Teknik UI.
Muhammad Shulton, salah satu ex-Mahasiswa FTUI yang pernah terlibat dalam instalasi PLTS terapung bifasial mengatakan PLTS terapung bifasial UI dibangun pada awal Januari 2020.
Dia bersama rekan mahasiswa lain yang kini telah lulus melihat ada hal baru dari instalasi solar panel tersebut. Di Indonesia, kata dia, solar panel itu disimpan di atap pada umumnya. “Nah, di sini solar panel disimpan secara terapung di danau yang bisa menampung PLTS ini,” ujarnya.
Sulthon mengatakan keuntungan pengembangan PLTS terapung salah satunya tidak memerlukan lahan yang rumit seperti di atap, karena hanya membutuhkan lahan perairan.
View this post on Instagram
Di UI, PLTS terapung bifasial mampu menghasilkan daya listrik hingga 10.000 watt. Aliran listrik tersebut untuk sementara bisa dinikmati di area sekitar. Tepatnya di area kantin dan mushola Fakultas Teknik Universitas Indonesia.
Dampak keberadaan solar panel terapung tersebut bisa menghemat pemakaian listrik yang dialirkan PLN.
Eko Adhi Setiawan, Direktur Tropical renewable Energy Center (TREC) Fakultas Teknik Universitas Indonesia mengatakan panel surya terapung bifasial tersebut terhubung ke jaringan listrik yang ada di kampus. Dengan demikian secara otomatis penggunaan energi yang biasanya di-supply oleh PLN bisa dikurangi.
“Karena selama di siang hari, listrik yang dihasilkan bisa untuk memenuhi kebutuhan beban yang ada di lingkungan dekat panel surya ini,” ujarnya.
Menurutnya, perawatan panel surya bifasial yang ada di UI lebih mudah dan murah karena tidak banyak memakan beban seperti panel surya pada umumnya. Keuntungan lainnya, panel surya tersebut bisa bertahan 25-40 tahun.
“Jadi panel surya ini kelebihan teknologinya tidak ada komponen yang berputar seperti diesel, generator dan sebagainya.”
Eko menuturkan, panel surya bifasial memiliki kemampuan untuk menangkap cahaya dari kedua sisi panel, yakni cahaya dari sisi atas dan bawah, sehingga menghasilkan energi surya yang lebih besar dibandingkan panel surya konvensional.
Sementara, panel surya konvensional hanya mampu menangkap cahaya dari satu sisi panel, yaitu sisi yang menghadap ke arah matahari.
Pihaknya berharap kehadiran panel surya terapung bifasial ini bisa menjadi percontohan. Paling tidak bisa dikembangkan di Kota Depok seiring banyaknya lahan setu di kota tersebut.
Menurutnya, selama terdapat lahan setu atau bendungan, dam, atau danau kecil seperti yang ada di UI tersebut, maka PLTS terapung dengan kapasitas 10.000 watt, 20.000 watt bahkan 30.000 watt itu bisa dipasang.
Dia mengaku senang jika ada pihak lain yang tertarik mengembangkan panel surya terapung serupa di daerah lain, salah satunya Kota Depok.
Eko mengatakan pihaknya tak segan-segan untuk membantu jika ada pihak yang ingin bekerja sama mengembangkan PLTS terapung seperti yang telah dikembangkan UI.
Pihaknya ingin agar masyarakat bisa mendapatkan pemahaman, informasi bahwa panel surya relatif mudah digunakan, dioperasikan dan mudah menghasilkan listrik.
“Apalagi kita dapat data bahwa di Depok punya banyak setu ya. Jadi, perlu kira-kita kita instal juga di tengah-tengah masyarakat. Dan syukur-syukur tadi sudah kita diskusikan bahwa masyarakat akhirnya teredukasi dari anak-anak sampai orang dewasa khususnya yang ada di Depok yang mempunyai banyak setu,” katanya.
Seperti diketahui, saat ini pemerintah tengah gencar mengampanyekan program transisi energi dengan target net zero emission (NZE) mulai dari tahun 2025 hingga 2060. Salah satu program transisi energi yang bisa dilakukan banyak pihak yaitu pengembangan PLTS.
Beberapa wilayah yang selama ini secara masif mengembangkan PLTS antara lain PLTS Likupang dengan luas mencapai 29 hektare berkapasitas 15 megawatt, PLTS Oelpuah seluas 7,5 hektar dengan kapasitas 5 megawatt, PLTS Coca Cola Amatil seluas 72.000 m2 dengan kapasitas 7,13 megawatt dan PLTS Waduk Cirata dengan potensi luas mencapai 250 hektar berkapasitas 145 megawatt.
Khusus di Kota Depok, sejauh ini belum terlihat ada kebijakan konkret yang berfokus pada program transisi energi. Meski demikian, Wakil Wali Kota Depok Imam Budi Hartono mengatakan mendukung program transisi energi yang dicanangkan pemerintah pusat. Pihaknya berencana untuk memulai pengembangan energi surya sebagai pengganti listrik PLN di gedung-gedung pemerintahan di bawah naungan Pemkot Depok. Selain itu, pihaknya juga tertarik mengembangkan solar panel terapung di setu-setu yang ada di Depok.
“Apalagi kita banyak setu yang dimana di atas setu kita bisa membuat energi surya yang potensinya sangat besar. Mudah-mudahan kami akan lihat di UI ya tentang percontohannya. Karena kami punya potensi setu mudah-mudahan nanti kami buat percontohan di salah satu di Kota Depok,” paparnya.
Merealisasikan transisi energi memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tak terkecuali mengembangkan panel surya terapung sebagaimana yang dilakukan Fakultas Teknik Universitas Indonesia dan rencana ketertarikan Pemkot Depok.
View this post on Instagram
Guru Besar Fakultas Teknik Indonesia Profesor Adi Surjosatyo mengatakan perlu ada kajian matang menyeluruh jika Pemkot Depok ingin mengembangkan panel surya terapung di setu-setu yang ada di Depok.
Sejauh ini, kata dia, belum pernah ada potensi studi yang jelas tentang kebutuhan energi di sekitar Depok. Namun, dengan adanya percontohan PLTS terapung bifasial di UI, bisa menjadi inspirasi yang bisa dikembangkan di Depok.
“Dengan melihat contoh PLTS yang ada di UI, menjadi suatu tempat penampungan energi, ini kan sebagai model yang bisa diduplikasikan ke berbagai tempat di setu seperti di Depok,” ujarnya.
Dia mengatakan perlu kajian intensif dan komprehensif jika Depok tertarik mengembangkan PLTS di setu. Salah satunya dengan mendata berapa jumlah setu yang ada.
“Ada berapa setu di Depok, misal ada 5 atau 6 begitu ya atau berapa terserah. Karena luasan daripada setu itu juga akan berpengaruh kepada tingkat energi yang diserap oleh solar panel itu sendiri,” katanya.