Jakarta, 2 Februari 2025 – Dalam ajang ESG Sustainability Forum 2025, Utusan Khusus Presiden RI Bidang Iklim dan Energi, Hashim S. Djojohadikusumo, mengungkapkan bahwa Just Energy Transition Partnership (JETP) yang disepakati pada November 2022 dianggap gagal karena tidak ada dana yang cair.
Pernyataan ini muncul sebagai respons terhadap keluarnya Amerika Serikat dari Persetujuan Paris setelah terpilihnya Donald Trump sebagai presiden.
Hashim juga menegaskan bahwa Presiden Prabowo tidak memiliki rencana untuk memensiunkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara pada tahun 2040, yang ia sebut sebagai “bunuh diri ekonomi”.
Kegagalan JETP: Pandangan IESR
Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai pernyataan Hashim mengenai kegagalan JETP tidak akurat dan tidak berdasarkan data.
JETP, yang disetujui oleh Pemerintah Indonesia dan International Partners Group (IPG), bertujuan untuk mempercepat transisi energi di sektor kelistrikan dan meningkatkan bauran energi terbarukan.
Komitmen pendanaan sebesar USD 20 miliar telah disepakati, dengan USD 10 miliar dari IPG dan USD 10 miliar dari Glasgow Financial Alliance for Net-Zero (GFANZ).
Pendanaan JETP tidak diberikan dalam bentuk bantuan langsung tunai, melainkan melalui berbagai skema seperti hibah, bantuan teknis, dan pembiayaan komersial untuk proyek-proyek energi terbarukan.
Progres Pendanaan JETP
Hingga Desember 2024, negara pendonor dalam IPG telah mengucurkan hibah dan bantuan teknis sebesar USD 230 juta untuk 44 program, dengan USD 97 juta untuk 11 program masih dalam proses persetujuan.
Selain itu, USD 1 miliar telah dialokasikan untuk investasi ekuitas dan pinjaman pada 8 proyek yang telah disetujui, termasuk proyek PLTP Ijen yang mendapatkan pembiayaan sebesar USD 126 juta dari International Development Finance Corporation (DFC).
Rencana Investasi Energi Terbarukan
Pada tahun 2023, JETP mengeluarkan Comprehensive Investment Policy Plan (CIPP) yang merinci kebutuhan pendanaan untuk proyek energi terbarukan hingga mencapai USD 97 miliar pada tahun 2030.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, mendesak pemerintah untuk meningkatkan komitmen transisi energi menuju net-zero emission pada tahun 2060 atau lebih awal.
Tindakan yang Diperlukan
Fabby menekankan pentingnya pemerintah untuk memperkuat komitmen dalam melaksanakan JETP dengan beberapa langkah strategis:
- Melanjutkan Satgas Transisi Energi Nasional (TEN) untuk koordinasi implementasi transisi energi.
- Mempercepat reformasi kebijakan yang menghambat pengembangan energi terbarukan.
- Menyelaraskan target JETP dalam dokumen perencanaan energi nasional.
- Menuntaskan persetujuan pensiun dini PLTU Cirebon I dengan skema ETM.
“Transisi energi adalah prasyarat untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,” kata Fabby.
Ia menekankan bahwa mempertahankan energi fosil dan mengoperasikan PLTU batubara dapat berisiko menjadi “bunuh diri ekonomi”. Keterlambatan dalam membangun energi terbarukan dapat melemahkan daya saing Indonesia di pasar global.
Dukungan untuk Energi Terbarukan
IESR mendukung keinginan Presiden Prabowo untuk mengakhiri PLTU pada tahun 2040 dan mencapai 100 persen energi terbarukan sebelum tahun 2050.
Berdasarkan kajian IESR, pengakhiran PLTU batubara secara dini dapat mengurangi beban biaya subsidi listrik dan biaya kesehatan akibat polusi.
IESR mendesak presiden untuk menginstruksikan jajaran menterinya agar mengimplementasikan arahan ini melalui perencanaan kelistrikan nasional yang konkret. Transisi energi bersih bukan hanya penting untuk lingkungan, tetapi juga untuk pertumbuhan ekonomi dan daya saing Indonesia di masa depan.